Aku tinggal di kompleks perumahan BTN di Jakarta. Suamiku termasuk orang
yang selalu sibuk. Sebagai arsitek swasta, tugasnya boleh dibilang
tidak kenal waktu. Walaupun dia sangat mencintaiku, bahkan mungkin
memujaku, aku sering kesepian. Aku sering sendirian dan banyak melamun
membayangkan betapa hangatnya dalam sepi itu Mas Adit, begitu nama
suamiku, ngeloni aku. Saat-saat seperti itu membuat libidoku naik. Dan
apabila aku nggak mampu menahan gairah seksualku, aku ambil buah ketimun
yang selalu tersedia di dapur. Aku melakukan masturbasi membayangkan
dientot oleh seorang lelaki, yang tidak selalu suamiku sendiri, hingga
meraih kepuasan.
Yang sering hadir dalam khayalan seksualku
justru Pak Parno, Pak RT di kompleks itu. Walaupun usianya sudah diatas
55 tahun, 20 tahun di atas suamiku dan 27 tahun di atas umurku, kalau
membayangkan Pak Parno ini, aku bisa cepat meraih orgasmeku. Bahkan
saat-saat aku bersebadan dengan Mas Aditpun, tidak jarang khayalan
seksku membayangkan seakan Pak Parnolah yang sedang menggeluti aku. Aku
nggak tahu kenapa. Tetapi memang aku akui, selama ini aku selalu
membayangkan kemaluan lelaki yang gedee banget. Nafsuku langsung
melonjak kalau khayalanku nyampai ke sana. Dari tampilan tubuhnya yang
tetap kekar walaupun tua, aku bayangkan kontol Pak Parno juga kekar.
Gede, panjang dan pasti tegar dilingkari dengan urat-urat di sekeliling
batangnya. Ooohh.., betapa nikmatnya dientot kontol macam itu ..
Di
kompleks itu, di antara ibu-ibu atau istri-istri, aku merasa akulah
yang paling cantik. Dengan usiaku yang 28 tahun, tinggi 158 cm dan berat
46 kg, orang-orang bilang tubuhku sintal banget. Mereka bilang aku
seperti Sarah Ashari, selebrity cantik yang binal adik dari Ayu Ashari
bintang sinetron. Apalagi kalau aku sedang memakai celana jeans dengan
blus tipis yang membuat buah dadaku yang cukup besar membayang. Hatiku
selangit mendengar pujian mereka ini..
Pada suatu ketika,
tetangga kami punya hajatan, menyunatkan anaknya. Biasa, kalau ada
tetangga yang punya kerepotan, kami se-RT rame-rame membantu. Apa saja,
ada yang di dapur, ada yang ngurus pelaminan, ada yang bikin hiasan atau
menata makanan dan sebagainya. Aku biasanya selalu kebagian bikin
pelaminan. Mereka tahu aku cukup berbakat seni untuk membuat dekorasi
pelaminan itu. Mereka selalu puas dengan hasil karyaku.
Aku
menggunakan bahan-bahan dekorasi yang biasanya aku beli di Pasar Senen.
Pagi itu ada beberapa bahan yang aku butuhkan belum tersedia. Di tengah
banyak orang yang pada sibuk macam-macam itu, aku bilang pada Mbak
Surti, yang punya hajatan, untuk membeli kekurangan itu.
'Kebetulan
Bu Mar, tuh Pak Parno mau ke Senen, mbonceng saja sama dia', Bu Kasno
nyampaikan padaku sambil nunjuk Pak Parno yang nampak paling sibuk di
antara bapak-bapak yang lain.
'Emangnya Pak Parno mau cari apaan?, aku nanya.
'Inii,
mau ke tukang tenda, milih bentuk tenda yang mau dipasang nanti sore.
Sama sekalian sound systemnya', Pak Parno yang terus sibuk menjawab
tanpa menengok padaku.
'Iyaa deh, aku pulang bentar ya Pak Parno,
biar aku titip kunci rumah buat Mas Adit kalau pulang nanti'. Segalanya
berjalan seperti air mengalir tanpa menjadikan perhatian pada
orang-orang sibuk yang hadir disitu.
Sekitar 10 menit kemudian,
dengan celana jeans dan blus kesukaanku, aku sudah duduk di bangku
depan, mendampingi Pak Parno yang nyopirin Kijangnya. Udara AC di mobil
Pak Parno nyaman banget sesudah sepagi itu diterpa panasnya udara
Jakarta. Pelan-pelan terdengar alunan dangdut dari radio Mara yang
terdapat di mobil itu.
Saat itu aku jadi ingat kebiasaanku
mengkhayal. Dan sekarang ini aku berada dalam mobil hanya berdua dengan
Pak Parno yang sering hadir sebagai obyek khayalanku dalam hubungan
seksual. Tak bisa kutahan, mataku melirik ke arah selangkangan di bawah
kemudi mobilnya. Dia pakai celana drill coklat muda. Aku lihat di arah
pandanganku itu nampak menggunung. Aku nggak tahu apakah hal itu biasa.
Tetapi khayalanku membayangkan itu mungkin kontolnya yang gede dan
panjang.
Saat aku menelan ludahku membayangkan apa di balik
celana itu, tiba-tiba tangan Pak Parno nyelonong menepuk pahaku. 'Dik
Marini mau beli apaan? Di Senen sebelah mana?', sambil dia sertai
pertanyaan ini dengan nada ke-bapak-an.
Dan aku bener-bener kaget lho. Aku nggak pernah membayangkan Pak RT ini kalau ngomong sambil meraba yang di ajak ngomong.
'Kertas
emas dan hiasan dinding, Pak. Di sebelah toko mainan di pasar inpress
ituu..', walaupun jantungku langsung berdegup kencang dan nafasku terasa
sesak memburu, aku masih berusaha se-akan-akan tangan Pak Parno di
pahaku ini bukan hal yang aneh.
Tetapi rupanya Pak Parno nggak
berniat mengangkat lagi tangannya dari pahaku, bahkan ketika dia jawab
balik, 'Ooo, yyaa.. aku tahu ..', tangannya kembali menepuk-nepuk dan
digosok-gosokkanya pada pahaku seakan sentuhan bapak yang melindungi
anaknya.
Ooouuiihh.. aku merasakan kegelian yang sangat, aku
merasakan desakan erotik, mengingat dia selalu menjadi obyek khayalan
seksualku. Dan saat Pak Parno merabakan tangannya lebih ke atas menuju
pangkal pahaku, reaksi spontanku adalah menurunkan kembali ke bawah. Dia
ulangi lagi, dan aku kembali menurunkan. Dia ulangi lagi dan aku
kembali menurunkan. Anehnya aku hanya menurunkan, bukan menepisnya. Yang
aku rasakan adalah aku ingin tangan itu memang tidak diangkat dari
pahaku. Hanya aku masih belum siap untuk lebih jauh. Nafasku yang
langsung tersengal dan jantungku yang berdegap-degup kencang belum siap
menghadapi kemungkinan yang lebih menjurus.
Pak Parno mengalah.
Tetapi bukan mengalah bener-bener. Dia tidak lagi memaksakan tangannya
untuk menggapai ke pangkal pahaku, tetapi dia rubah. Tangan itu kini
meremasi pahaku. Gelombang nikmat erotik langsung menyergap aku. Aku
mendesah tertahan. Aku lemes, tak punya daya apa-apa kecuali membiarkan
tangan Pak Parno meremas pahaku. 'Dik Maarr..', dia berbisik sambil
menengok ke aku.
Tiba-tiba di depan melintas bajaj, memotong
jalan. Pak Parno sedikit kaget. Otomatis tangannya melepas pahaku,
meraih presnelling dan melepas injakan gas. Kijang ini seperti
terangguk. Sedikit badanku terdorong ke depan. Selepas itu tangan Pak
Parno dikonsentrasikan pada kemudi. Jalanan ke arah Senen yang macet
membuat sopir harus sering memindah presnelling, mengerem, menginjak gas
dan mengatur kemudi. Aku senderkan tubuhku ke jok. Aku nggak banyak
ngomong. Aku kepingin tangan Pak Parno itu kembali ke pahaku. Kembali
meremasi. Dan seandainya tangan itu merangkak ke pangkal pahaku akan
kubiarkan. Aku menjadi penuh disesaki dengan birahi. Mataku kututup
untuk bisa lebih menikmati apa yang barusan terjadi dan membiarkan
pikiranku mengkhayal.
Benar. Sesudah jalanan agak lancar, tangan
Pak Parno kembali ke pahaku. Aku benar-benar mendiamkannya. Aku
merasakan kenikmatan jantungku yang terpacu dan nafasku yang menyesak
dipenuhi rangsangan birahi. Langsung tangan Pak Parno meremasi pahaku.
Dan juga naik-naik ke pangkal pahaku. Tanganku menahan tangannya. Eeeii
malahan ditangkapnya dan diremasinya. Dan aku pasrah. Aku merespon
remasannya. Rasanya nikmat untuk menyerah pada kemauan Pak Parno. Aku
hanya menutup mata dengan tetap bersender di jok sambil remasan di
tangan terus berlangsung.
Sekali aku nyeletuk,
'N'tar dilihat orang Pak',
'Ah, nggaakk mungkin, kacanya khan gelap. Orang nggak bisa melihat ke dalam', aku percaya dia.
Sesudah beberapa saat rupanya desakan birahi pada Pak Parno juga menggelora,
'Dik Mar.. kita jalan-jalan dulu mau nggak?', dia berbisik ..
'Kemana..?', pertanyaanku yang aku sertai harapan hatiku ..
'Ada deh.. Pokoknya Dik Mar mau khan..'.
'Terserah Pak Parno.., Tapinya n'tar ditungguin orang-orang .., n'tar orang-orang curiga .. lho'.
'Iyaa,
jangan khawatirr.., paling lama sejamlah.', sambil Pak Parno
mengarahkan kemudinya ke tepi kanan mencari belokan ke arah balik. Aku
nggak mau bertanya, mau ngapain 'sejam'??
Persis di bawah
jembatan penyeberangan dekat daerah Galur, Pak Parno membalikkan
mobilnya kembali menuju arah Cempaka Putih. Ah.. Pak Parno ini pasti
sudah biasa begini. Mungkin sama ibu-ibu atau istri-istri lainnya. Aku
tetap bersandar di jok sambil menutup mataku pura-pura tiduran. Dengan
penuh gelora dan deg-degan jantungku, aku menghadapi kenyataan bahwa
beberapa saat lagi, mungkin hanya dalam hitungan menit, akan mengalami
saat-saat yang sangat menggetarkan. Saat-saat seperti yang sering aku
khayalkan. Aku nggak bisa lagi berpikir jernih. Edan juga aku ini.., apa
kekurangan Mas Adit, kenapa demikian mudah aku menerima ajakan Pak
Parno ini. Bahkan sebelumnya khan belum pernah sekalipun selama 8 tahun
pernikahan aku disentuh apalagi digauli lelaki lain.
Yang aku
rasakan sekarang ini hanyalah aku merasa aman dekat Pak Parno. Pasti dia
akan menjagaku, melindungiku. Pasti dia akan mengahadpi aku dengan
halus dan lembut. Bagaimanapun dia adalah Pak RT kami yang selama ini
selalu mengayomi warganya. Pasti dia nggak akan merusak citranya dengan
perbuatan yang membuat aku sakit atau terluka. Dan rasanya aku ingin
banget bisa melayani dia yang selama ini selalu jadi obyek khayalan
seksualku. Biarlah dia bertindak sesuatu padaku sepuasnya. Dan juga aku
ingin merasakan bagaimana dia memuaskan aku pula sesuai khayalanku.
Agu
gemetar hebat. Tangan-tanganku gemetar. Lututku gemetar. Kepalaku
terasa panas. Darah yang naik ke kekepalaku membuat seakan wajahku
bengap. Dan semakin kesana, semakin aku nggak bisa mencabut
persetujuanku atas ajakan 'jalan-jalan dulu' Pak Parno ini.
Tiba-tiba
mobil terasa membelok ke sebuah tempat. Ketika aku membuka mata, aku
lihat halaman yang asri penuh pepohonan. Di depan mobil nampak seorang
petugas berlarian menuntun Pak Parno menuju ke sebuah garasi yang
terbuka. Dia acungkan tangannya agar Pak Parno langsung memasuki garasi
berpintu rolling door itu, yang langsung ditutupnya ketika mobil telah
yakin berada di dalam garasi itu dengan benar. Sedikit gelap. Ada cahaya
kecil di depan. Ternyata lampu di atas sebuah pintu yang tertutup.
Woo.. aku agak panik sesaat. Tak ada jalan untuk mundur. Kemudian
kudengar Pak Parno mematikan mesin mobilnya.
'Nyampai Dik Mar ..',
'Di
mana ini Pak ..?', terus terang aku nggak tahu di mana tempat yang Pak
Parno mengajak aku ini. Tetapi aku yakin inilah jenis 'motel' yang
sering aku dengar dari temen-temen dalam obrolan-obrolan porno dalam
arisan yang diselenggarakan ibu-ibu kompleks itu.
Pak Parno tidak
menjawab pertanyaanku, tetapi tangannya langsung menyeberang melewati
pinggulku untuk meraih setelan jok tempat dudukku. Jok itu langsung
bergerak ke bawah dengan aku tergolek di atasnya. Dan yang kurasakan
berikutnya adalah bibir Pak Parno yang langsung mencium mulutku dan
melumat. Uh uh uh .. Aku tergagap sesaat.. sebelum aku membalas
lumatannya. Kami saling melepas birahi. Aku merasakan lidahnya menyeruak
ke rongga mulutku. Dan reflekku adalah mengisapnya. Lidah itu
menari-nari di mulutku. Bau lelaki Pak Parno menyergap hidungku.
Beginilah rasanya bau lelaki macam Pak Parno ini. Bau alami tanpa parfum
sebagaimana yang sering dipakai Mas Adit. Bau Pak RT yang telah 55
tahun tetapi tetap memancarkan kelelakian yang selama ini selalu
menyertai khayalanku saat masturbasi maupun saat aku disebadani Mas
Adit. Bau yang bisa langsung menggebrak libidoku, sehingga nafsu
birahiku lepas dengan liarnya saat ini..
Sambil melumat,
tangan-tangan Pak Parno juga merambah tubuhku. Jari-jarinya melepasi
kancing-kancing blusku. Kemudian kurasakan remasan jari kasar pada buah
dadaku. Uuiihh .. tak tertahankan. Aku menggelinjang. Menggeliat-geliat
hingga pantatku naik-naik dari jok yang aku dudukin disebabkan gelinjang
nikmat yang dahsyat. Sekali lagi aku merasa edaann .. aku digeluti Pak
RT ku.
Bibir Pak Parno melumatku, dan aku menyambutnya dengan
penuh kerelaan yang total. Akulah yang sesungguhnya menantikan
kesempatan macam ini dalam banyak khayalan-khayalan erotikku. Ohh .. Pak
Parnoo .. Tolongin akuu Pakee .. Puaskanlah menikmati tubuhkuu ..Paak,
.. semua ini untuk kamu Paak .. Aku hauss .. Paak .. Tulungi akuu Paakk.
'Kita turun yok Dik Mar .., kita masuk dulu ..', Pak Parno menghentikan lumatannya dan mengajak aku memasuki motel ini.
Begitu
masuk kudengar telpon berdering. Rupanya dari kantor motel itu. Pak
Parno menanyakan aku mau minum apa, atau makanan apa yang aku inginkan
yang bisa diantar oleh petugas motel ke kamar. Aku terserah Pak Parno
saja. Aku sendiri buru-buru ke kamar kecil yang tersedia. Aku kebelet
pengin kencing.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar