Namaku Ratih, asalku dari Surabaya. Umurku 26 tahun dan sudah lulus dari
sebuah universitas terkenal di Yogyakarta. Selama kuliah aku punya
teman kuliah yang bernama Iva. Iva adalah teman dekatku, dia berasal
dari Medan. Kami seumur, tinggi kami hampir sama, bahkan potongan rambut
kami sama, hanya Iva pakai kacamata sedangkan aku tidak. Kadang-kadang
teman-teman menyebut kami sebagai saudara kembar. Kami juga lulus pada
saat yang bersamaan. Satu-satunya yang berbeda dari kami ialah selama
setahun kuliah terakhir, Iva sudah bertunangan dengan Ari, seorang kakak
kelasku sedangkan aku masih berpacaran dengan Andy, juga kakak kelasku.
Salah
satu persamaan lainnya ialah bahwa saat lulus itu kami sama-sama sudah
tidak perawan lagi. Kami saling terbuka dalam hal ini, artinya kami
saling bercerita mulai dari hal-hal yang mendalam misalnya tentang
perasaan, kegelisahan dan hal-hal lain tentang kami dan pacar-pacar
kami. Atau terkadang tentang hal-hal yang nakal misalnya bagian-bagian
erotis atau ukuran vital dari pacar-pacar kami, sehingga darinya aku
tahu bahwa milik Ari lebih panjang 3 cm dibandingkan milik Andy. Dengan
lugas kadang-kadang Iva bercerita bahwa dia tidak pernah merasakan
seluruh panjang batang milik Ari, diceritakannya pula bahwa Ari tidak
pernah bisa lebih lama dari 3 menit setiap kali berhubungan badan
dengannya. Meski begitu dia selalu merasa puas.
Kadang-kadang aku
merasa iri juga dengan anugrah yang didapat Iva. Meskipun sebenarnya 15
cm milik Andy pun sudah cukup panjang, tapi membayangkan 18 cm milik
Ari terkadang cukup membuatku gundah. Belum lagi aku mengingat-ingat tak
pernah Andy sanggup bertahan lebih lama dari hitungan menit, mungkin
karena aku dan Andy selalu melakukan pemanasannya lama dan menggebu-gebu
(kadang-kadang malah aku atau Andy sudah lebih dulu orgasme pada tahap
ini), jadi ketika saat penetrasi sudah tinggal keluarnya saja. Meskipun
kadang-kadang cukup memuaskan tetapi rasanya masih saja ada yang kurang.
Belum lagi secara fisik, Ari lebih baik dari Andy dari penilaian
obyektifku. Semua perasaan itu tersimpan di diriku sekian lama selama
aku masih sering berhubungan dengan Iva, yang artinya juga sering
bertemu dengan Ari.
Tepat sebulan setelah lulus, Iva menikah
dengan Ari. Lalu mereka berdua pindah ke Medan, sedangkan aku sendiri
bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Yogyakarta. Beberapa lama
kami sering berkirim kabar baik lewat email maupun telepon. Iva sering
menuliskan apa saja yang sudah dilakukannya dalam kehidupan suami
istrinya. Diceritakannya betapa sering mereka berdua berhubungan intim,
sebulan pertama jika dirata-rata bisa lebih dari 1 kali sehari. Dengan
nada cekikikan sering juga diceritakannya bahwa memang milik Ari terlalu
panjang untuk kedalamannya, bahwa semakin lama Ari semakin tahan lama
dalam melakukannya yang oleh karenanya mereka sering terlambat bangun
pagi karena semalaman melakukannya sampai dini hari. Juga dengan nada
menggoda, diceritakannya betapa hangat semprotan sperma di dalam liang
kemaluan.
Cerita yang terakhir ini sungguh merangsangku, karena
meskipun telah melakukannya, aku belum pernah merasakan hal itu. Selalu
Andy mengeluarkan spermanya di luar atau dia memakai kondom. Di perut
atau paha memang sering kurasakan hangatnya cairan itu, tetapi di dalam
liang kemaluan memang belum. Singkat kata semakin banyak yang
diceritakannya semakin membuatku ingin segera menikah. Masalahnya Andy
masih ingin menyelesaikan studi S2-nya yang mungkin kurang dari setahun
lagi selesai.
Beberapa bulan kemudian Iva mengabarkan bahwa dia
sudah hamil sekian bulan. Semakin bertambah umur kandungannya semakin
sedikit cerita-cerita erotisnya. Ketika kandungan sudah beranjak lebih
dari 7 bulan, dia bercerita bahwa mereka sudah tidak pernah berhubungan
seks lagi. Kadang-kadang dia bercerita bahwa sesekali dia
me-masturbasi-kan Ari, karena meskipun secara klinis mereka masih boleh
berhubungan seks tapi mereka khawatir. Jadi Ari terpaksa berpuasa.
Sekian bulan kemudian lahirlah putra pertamanya, Iva mengabarkan
kepadaku berita gembira itu. Kebetulan sekali perusahaanku mempunyai
kebijaksanaan adanya liburan akhir tahun selama dua minggu lebih.
Sehingga aku memutuskan untuk pergi ke Medan untuk menjenguknya. Andy
terpaksa tidak bisa ikut karena dia sedang hangat-hangatnya
menyelesaikan tesisnya.
Jadilah aku pergi sendirian ke Medan dan
segera naik taksi menuju rumahnya. Rumah Iva adalah sebuah rumah yang
besar untuk ukuran sebuah keluarga kecil. Rumah itu adalah hadiah dari
orang tua Iva yang memang kaya raya. Letaknya agak keluar kota dan
berada di dekat area persawahan dengan masih beberapa rumah saja yang
ada di sekitarnya. Ketika aku datang, di rumahnya penuh dengan
keluarga-keluarganya yang berdatangan menjenguknya. Ari sedang menyalami
semua orang ketika aku datang.
"Ratih, apa kabar? Sudah ditunggu-tunggu tuh!" dia memelukku dengan hangat.
Kemudian
dia mengenalkanku kepada keluarga-keluarga yang datang. Aku pun
menyalami mereka satu persatu. Mereka ramah-ramah sekali. Ari bercerita
bahwa aku adalah saudara kembarnya Iva selama kuliah. Keluarganya saling
tersenyum dan berkomentar sana sini.
Sekian saat berbasa basi,
Ari segera mengantarku masuk rumah dan langsung menuju kamar Iva. Tampak
Iva lebih gemuk dan di sampingnya tampak bayi lucu itu.
"Iva sayang, apa kabar?" aku mencium keningnya dan memeluknya hangat.
"Sudah siap-siap begituan lagi ya?" aku berbisik di telinganya yang dijawabnya dengan cubitan kecil di lenganku.
"Sstt.. harus disempitin dulu nih!" dia menjawab dengan berbisik pula sambil menggerakkan bola matanya ke bawah, aku tertawa.
Singkat
kata, hari itu kami isi dengan berbasa-basi dengan keluarganya. Aku
akhirnya menginap di rumahnya itu karena semua keluarga menyarankan
begitu. Iva dan Ari pun tak keberatan. Aku diberi kamar yang besar di
ujung ruangan tengahnya. Rumahnya mempunyai 6 kamar besar dengan kamar
mandi sendiri dan baru satu saja yang telah diisi olehnya dan Ari. Hari
itu sampai malam kami isi dengan mengobrol di kamarnya menemani sang
bayi yang baru saja tidur. Sementara Ari menyelesaikan tugas-tugasnya
sebagai dosen di ruang kerjanya.
Akhirnya aku menyarankannya istirahat.
"Sudah kamu istirahat dulu deh Va!"
"He eh deh, lelah sekali hari ini aku! Kamu masih suka melek sampai malam?"
"Iya nih!"
"Itu ada banyak film di rak! Masih baru lho!"
"Oke deh! Sekali lagi selamat ya!" kucium keningnya.
Aku keluar kamar dan menutupnya perlahan. Ari bercelana pendek dan berkaos oblong baru saja keluar dari ruang kerjanya.
"Mau tidur?"
"Sebenarnya aku sudah lelah, tapi mataku tidak bisa terpejam sebelum jam 2 malam nih! Katanya punya banyak film?"
"Itu di rak, buka aja!"
"Oke deh!"
Ari masuk kamar Iva. Kupilih satu film, judulnya aku lupa, lalu kuputar. Beberapa saat kemudian Ari keluar kamar dan tersenyum.
"Masih dengan kebiasaan lama? Melek sampai malam!"
"He eh nih!"
"Gimana kabarnya Andy?"
"Dua bulan lagi selesai tesisnya! Terus kami mau menikah, kalian datang ya!"
"Oh pasti! Mau minum, aku buatin apa?"
"Apa aja deh!"
Sebentar kemudian Ari keluar dengan dua botol soft drink di tangannya.
"Pembantu pada kelelahan nih! Jadi ini saja ya!"
"Makasih!" aku ambil satu dan meminumnya langsung, rasanya segar sekali.
"Kalo
ada perlu aku lagi ngerjain proyek nih di ruang kerja", ketika Ari
beranjak sekilas aku melihat tatapan yang belum pernah kulihat darinya,
sekilas saja.
"Oke, makasih!"
Tak berapa lama aku melihat film
itu, mataku ternyata tidak seperti biasa, tiba-tiba terasa berat sekali.
Aku segera matikan player itu, berjalan ke depan ke ruang kerja Ari.
"Ari, aku tidur dulu deh! sudah kumatiin semua!"
"Oke deh, istirahat dulu ya!"
Aku
segera masuk kamar, menutup pintu, segera ganti baju dengan kaos tanpa
bra dan celana pendek saja dan langsung ambruk di atas ranjang. Aku
masih sempat mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur yang
remang-remang. Aku langsung terlelap, saat itu mungkin sekitar pukul
satu dinihari.
Tak terasa berapa lama aku tidur, ketika aku
merasakan sesuatu menindihku. Aku terbangun dan masih belum sadar ada
apa, ketika seseorang menindihku dengan kuat. Nafasnya terasa hangat
memburu di wajahku. Ketika sepenuhnya sadar aku tahu bahwa Ari sedang di
atas tubuhku dan sedang menggeranyangiku dengan ganas, mengelus-elus
pahaku dan mencoba mencium bibirku. Beberapa lama aku tidak tahu harus
bagaimana. Jika aku berteriak, aku kasihan pada Iva, jika sampai dia
tahu. Selain itu sosok Ari telah kukenal dekat sehingga aku tak perlu
menjerit untuk membuatnya tidak melakukan itu.
"Ar, kamu apa-apaan?" kataku sambil mencoba mendorongnya dari tubuhku.
"Bantulah aku Rat! Telah lama sekali!" sambil berkata begitu dia terus menggeranyangi tubuhku.
Tangannya
mendarat dengan mantap di atas payudaraku dan meremas-remasnya. Jika
saja aku tadi masih memakai BH-ku mungkin rasanya akan lain. Tapi kali
itu hanya kain kaos yang tipis saja yang memisahkannya dengan tangannya.
Selain itu samar-samar kurasakan sesuatu yang mengeras menimpa pahaku.
Aku tidak asing lagi dengan benda itu. batang kemaluannya telah tegang
penuh."Ari..!" dia mencoba menciumku. Entah antara ingin mengatakan
sesuatu atau ingin menghindar, aku malah menempatkan bibirku tepat di
bibirnya. Yang terjadi kemudian aku malah membalas lumatannya yang ganas
sekali. Beberapa lama itu dilakukannya, cukup untuk membuat puting
susuku mengeras, yang kuyakin dirasakannya di dadanya.
"Kalo Iva tahu gimana dong?"
"Ayolah sebentar saja tak akan membuatnya tahu!" bisik Ari.
Entah
untuk mencari pembenaran atas keinginan terpendamku atau mencoba untuk
terlihat tidak terlalu permisif akhirnya yang keluar dari mulutku
adalah, "Ar.. aku akan melakukannya untuk Iva!"
Seperti bendungan
jebol, Ari langsung kembali melumatku dengan ganas. Aku pun tampaknya
memang telah terhanyut oleh perbuatannya, sehingga langsung membalas
lumatan bibirnya. Tampaknya dalam hal beginian Andy lebih jagoan, dia
bisa membuatku basah kuyup hanya dengan ciumannya. Sedangkan Ari tampak
tersengat ketika aku langsung membalas lumatan bibirnya dengan ganas.
Beberapa
lama kami melakukan lumatan-lumatan itu, kemudian Ari bangkit dari atas
tubuhku dan berlutut di antara pahaku. Dia kemudian menarik kaosku ke
atas tanpa melepasnya dari tubuhku sehingga payudaraku terbuka, terasa
dingin oleh AC. Beberapa saat kemudian aku merasakan jemarinya kembali
meremas-remasnya perlahan, bukan itu saja kemudian aku merasakan
bibirnya mendarat dengan mulus memilin-milin puting susuku yang
kurasakan semakin mengeras. Tapi sebenarnya sebagian kecil tubuhku masih
menolak perbuatannya itu, mengingat kedekatanku dengan Iva. Meski
begitu sebagian besar lainnya tak bisa menolak rangsangan-rangsangan
itu.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar