Beberapa saat Ari bermain-main dengan puting dan gundukan payudaraku.
Kemudian dia bangkit dan menarik lepas celana pendek dan celana dalamku.
Dengan segera aku merasakan tangannya membuka kedua pahaku dan sebentar
kemudian kurasakan jemarinya menyapu permukaan liang kemaluanku.
Ujung-ujung jemarinya mengelus-elus klitorisku dengan cepat, cukup cepat
untuk membuat rangsangan bagiku. Walau begitu tetap saja gelitikannya
semakin merangsangku.
Tak berapa lama dia kembali berhenti.
Sekali lagi dalam hal pemanasan ini Andy masih lebih baik dibandingkan
Ari. Dalam keremangan, aku melihatnya berdiri dan menarik celana pendek
dan kaos oblongnya sehingga Ari akhirnya telanjang bulat. Justru di
sinilah nafsuku langsung naik dengan sangat cepat demi menyaksikan
tubuhnya di dalam keremangan lampu tidur di kamar itu. Sesuatu di tengah
tubuhnya langsung membakarku, batang kemaluan yang sedang tegang dan
tampak sedikit melengkung ke atas. Bentuknya yang gemuk, panjang dan
berkepala bonggol itu langsung menggelitikkan rasa terangsang yang amat
sangat mengalir dari mata dengan cepat langsung menggetarkan
selangkanganku.
Aku segera saja merasa gelisah dan tak sabar.
"Ar.. Ke sini deh!"
Dengan
bertelanjang bulat, Ari berjalan mendekat kepadaku dan naik ranjang,
langsung berlutut di samping tubuhku, batang kemaluannya yang tegak itu
tampak jauh lebih besar jika dilihat dari baliknya.
"Ada apa Rat?"
"Kadang-kadang aku punya impian yang bahkan Iva pun tak tahu apa itu?"
"Apa coba?"
"Jangan
diketawain ya. Iva sering bercerita tentang ini! Dan kadang-kadang
timbul keinginan untuk sekedar memandangnya", sambil berkata begitu
kuraih batang kemaluannya itu dan kugenggam erat batang dan sebagian
kepalanya sehingga seperti kalau sedang memegang persneling mobil. Ari
tampak sedikit gugup ketika genggamanku mendarat mulus di batang
kemaluannya tanpa diduga-duga olehnya. Tubuhnya seperti terdorong ke
belakang sedikit sehingga semakin mengangkat posisi batang kemaluannya
dari posisi berlututnya. Beberapa saat aku merasakan kerasnya batang
kemaluannya itu.
Pantas sekali kalau Iva begitu membangga-banggakannya. Dan emang selisih tiga centi terasa sekali secara visual.
"Nih sudah, kamu boleh apain aja deh! Oh ya Iva sudah cerita apa saja ke kamu?"
"Banyak pokoknya!"
"Kalo sama punya Andy?"
"No comment deh!" nada bicaraku agak mendesah.
Ari
tersenyum dan bangkit dari sampingku terus membuka pahaku dan mulai
mengambil posisi. Ketika bangkit aku melihat pinggulnya seperti
bertangkai oleh cuatan batang kemaluannya itu. Dia memandangku sebentar,
kubalas dengan pandangan yang sama.
"Pelan-pelan ya Ar!"
"Lho, sudah pernah khan?"
"Iya, tapi.."
"Tidak segini ya?" Dia kembali tersenyum.
Aku
cuma tersenyum kecut demi ketahuan kalau punya Andy tidak sebesar
punyanya. Perlahan-lahan Ari mengangkat kedua pahaku dan menyusupkan
lututnya yang tertekuk di bawahnya sehingga ketika dia meletakkan pahaku
kembali keduanya menumpang di atas paha atasnya yang penuh rambut.
Dengan posisi seperti itu selangkangannya langsung berhadapan dengan
selangkanganku yang agak mendongak ke atas karena posisi pahaku. Aku
hanya bisa menunggu seperti apakah rasanya. Aku merasakan perlahan-lahan
Ari membuka sekumpulan rambut kemaluanku yang rimbun di bawah sana dan
beberapa saat kemudian sesuatu yang tumpul menggesek-gesek daging di
antara sekumpulan itu dengan gerakan ke atas dan ke bawah menyapu
seluruh permukaannya, dari klitoris sampai ke lubang kemaluanku. Rasa
terangsangku segera memuncak kembali merasakan sensasi baru itu.
"Ayolah Ar, keburu bangun!"
"Ini baru jam 3.15"
"Iya siapa tahu?"
Perlahan-lahan
aku merasakan gesekan kepala batang kemaluannya tadi berhenti di area
dekat lubangku tepat pada posisi membuka bibir-bibir labiaku sehingga
langsung berhadapan dengan lubang di bawahnya itu. Sesaat kemudian
sesuatu yang besar dan tumpul serta hangat menyodoknya perlahan-lahan.
Tanpa hambatan yang terlalu kuat, kepalanya langsung masuk diikuti
batangnya perlahan-lahan. Aku segera merasakan nikmat akibat gesekan
urat-uratnya itu di dinding lubang kemaluanku. Sampai tahap ini
sebenarnya rasanya tidak beda jauh dari punya Andy, walaupun tidak
sepanjang punya Ari ini tapi cukup gemuk. Tapi semakin lama tubuhku
segera bereaksi lain ketika batang itu mulai masuk semakin dalam. Dan
ketika semuanya masuk ke dalam, aku segera merasakan rasa nikmat yang
amat sangat ketika ujung kepala batangnya itu mentok di dinding bagian
dalam liang kemaluanku. Aku segera mencari lengannya dan mencengkeramnya
erat.
Ari berhenti sesaat dan menarik nafas panjang sekali.
"Rat..
Ini yang kucari!" Ari berbisik perlahan sekali tapi cukup terdengar
olehku. Kutahu apa yang dimaksudnya. Sesuatu yang sanggup menelan semua
panjang batangnya itu. Ari tidak segera bergerak tapi seperti menggeliat
dalam tancapan penuh batang kemaluannya ke dalam liang kemaluanku itu.
Tampaknya reaksi dari bagian yang belum pernah tertelan itu sangat
mempengaruhi dirinya. Dia bahkan belum bergerak sampai sekian puluh
detik ke depan, wajahnya tertunduk, kedua tangannya mencengkeram
pinggulku, meraih-raih pantatku dan meremas-remasnya dengan ganas
cenderung kasar. Dengan sedikit nakal, aku mencoba mengejan,
mengkontraksikan otot-otot di sekeliling selangkanganku.
Walaupun
terasa penuh oleh masuknya batang kemaluannya itu aku mulai bisa
melakukan kontraksi itu dengan teratur. Tak terlihat tapi efeknya luar
biasa. Aku merasakan kedua tangannya dengan liar memutar-mutar, meremas
dan mencengkeram bongkahan pantatku, pastinya karena reaksi dari apa
yang kulakukan pada batangnya itu. Dia segera ambruk di atas tubuhku dan
segera mengambil posisi menggenjot, kedua tangannya diletakkan di
antara dadaku, salah satunya menyangkutkan paha kananku sehingga
mengangkat selangkanganku ke atas sedangkan paha kiriku otomatis
terangkat sendiri. Paha kanannya masih tertekuk sedangkan kaki kirinya
diluruskannya ke bawah sehingga mempertegas sudut tusukan batang
kemaluannya di liang kemaluanku.
Dia mulai mencabut batang
kemaluannya yang beberapa lama tadi masih tertancap penuh di dalam
tubuhku dan belum sampai tiga perempat panjang batangnya keluar, dia
langsung menghujamkannya dengan kuat ke bawah sehingga menekan kuat area
ujung rahimku. Kemudian ditariknya lagi dan ditusukkannya kembali.
Mulailah terasa beda pengaruh panjangnya terhadap kenikmatan yang
kurasakan. Hal ini mungkin dikarenakan bidang gesekan satu arahnya yang
panjang dan lebih lama sehingga mengalirkan kenikmatan yang lebih kuat
pula.
"Arr..! Jangan kuat-kuat..!" tapi sebenarnya aku sangat
menikmatinya. Ari tampaknya tak peduli, dia terus saja bergerak-gerak
dengan kuat dan semakin cepat. "Oh.. Rat.. Ratih!" dia terus menggenjot
dan tak terasa begitu cepat 5 menit yang pertama terlewati dan dia masih
tangguh saja memompa liang kemaluanku. Benar kata Iva. Pagi itu tak ada
seorang pun yang bangun dan terjaga, tapi kami berdua malah sedang
mencoba mendaki dengan alasan yang berbeda. Kalau Ari karena tak tahan
menunggu Iva berfungsi kembali sedangkan aku karena ingin saja. Sekitar
sekian saat setelah 5 menitnya yang ketiga, aku jebol. Gesekan urat-urat
batang kemaluannya itu meledakkan tubuhku dengan kuat sehingga
membuatku menjepitkan pahaku ke tubuhnya. Bukan itu saja senam yang
teratur yang aku ikuti ternyata berguna pada saat itu.
Tepat pada
puncaknya kutahan kontraksi di liang kemaluanku dan sekuat tenaga
kupertahankan agar tidak segera meledak. Sesaat aku merasakan aliran
arus balik di tubuhku tapi tidak lama jebol juga sehingga dibawah
genjotan cepatnya aku merasakan tiba-tiba seperti melayang di angkasa
luas tanpa batas. Tubuhku kaku, kejang, nafasku memburu dan keluar
tertahan-tahan bersamaan dengan keluarnya bunyi-bunyian yang tidak jelas
nadanya dari bibirku.
"Ohh.. eehh.. hmm.. Ar.. yang kuat!"
Mungkin gabungan antara suara dari bibirku dan mungkin
cengkeraman-cengkeraman kuat dari dinding-dinding liang kemaluanku,
segera membuatnya bergerak cepat dan kuat sekali. Aku tidak pernah
merasakan kekuatan sekuat dan setahan itu dari Andy. Tubuhku kejang
sampai dia menyelesaikan 5 menitnya yang keempat dan masih terus
bergerak mantap. Sampai orgasmeku mereda aku merasakan gerakannya
semakin cepat dan kuat dan belum sampai pertengahan 5 menitnya yang
kelima, Ari pun jebol juga.
Posisi kami selama itu masih belum
berubah, tapi ketika dia mau menyelesaikan genjotan-genjotan terakhirnya
dia menggerakkan tubuhku ke kiri sehingga menggerakkan seluruh tubuhku
miring ke kiri dan paha kananku tepat menumpang di atas dadanya
sedangkan paha kiriku berada di antara kedua pahanya. Ketika posisinya
pas, dia langsung bergerak cepat. Dalam posisi itu ternyata rasanya lain
karena yang menggesek dinding lubang kemaluanku pun dinding yang lain
dari batang kemaluannya. Tapi orgasmeku yang pertama rasanya terlalu
kuat untuk diulangi dalam waktu sedekat itu, sehingga meskipun rasanya
memuncak lagi tapi ketika aku merasakan semprotan-semprotan panas
seperti yang diceritakan Iva kepadaku itu aku belum bisa meraih
orgasmeku yang kedua.
"Hoohh.. Hooh.. Hoo.. Rat..Ratih!" Ari
bergerak-gerak tak teratur dan hentakan-hentakannya ketika orgasme itu
tampak liar dan ganas tapi terasa nikmat sekali bagiku. Aku memegang
kedua lengannya yang berkeringat sampai dia menyelesaikan orgasme itu.
Sesekali aku mengusap wajahnya dengan lembut. Beberapa lama tubuhku kaku
karena posisi kaki-kakiku itu, sampai akhirnya dia ambruk di samping
kiriku. Batang kemaluannya tercabut dengan cepat dan semuanya itu
membuat posisi kembaliku agak terasa linu, terutama di paha bagian
dalamku.
Kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Aku telentang
sedangkan Ari tengkurap di sampingku basah kuyup oleh keringat.
Tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu perlahan-lahan dari balik pintu kamar.
Tiba-tiba Ari panik dan segera mengenakan celana pendek dan kaosnya.
Batang kemaluannya meskipun sudah lemas tapi masih belum seluruhnya
lemas sehingga tampak menggunduk di celana pendeknya. Aku melirik jam,
sudah hampir jam 4 pagi. Ari dengan sedikit tertatih-tatih berjalan
perlahan tanpa suara ke arah pintu kamarku, membukanya perlahan dan
sebelum keluar sempat melihatku sejenak dan tersenyum.
Tinggallah
aku sendiri di kamarku dan aku mencari-cari celana pendekku dan segera
mengenakannya. Aku terus menarik kaosku ke bawah sehingga menutupi
payudaraku yang pasti penuh pagutan-pagutan merah. Dan dengan sisa-sisa
tenaga mencoba merapikan sprei yang terasa lembab di tanganku. Mungkin
karena lelahnya aku kembali terlelap dan terbangun hampir jam 10.00
pagi. Singkat kata hari itu kuselesaikan segala urusan di Medan. Rasanya
tak ada hambatan dengan segala hal yang terjadi. Iva biasa-biasa saja
tidak terlihat seperti curiga, bahkan wajah cerianya tampak sedih ketika
pada hari ketiga aku terpaksa harus pamit untuk pulang. Ari mengantarku
ke bandara dan sebelum aku naik ke pesawat sempat Ari mengucapkan
terima kasih. Aku membalasnya dengan terima kasih juga sambil tak lupa
tersenyum manis penuh arti.
Sampai tiga bulan setelah aku
meninggalkan Medan, tiba-tiba Iva mengirimiku email yang menyentakku,
isinya begini, "Rat, sebenarnya aku tidak ingin menyinggung-nyinggung
soal ini tapi akhirnya agar kamu tahu terpaksa deh aku ungkapin. Tidak
tahu aku harus mengucapkan terima kasih atau malah mencaci kamu. Kamu
tega deh, di saat puncak kebahagianku kamu malah melakukannya dengan
Ari. Aku tahu bukan kamu yang memulai, dan aku tahu sekali kamu tidak
akan mau melakukannya jika tanpa sesuatu sebab. Sebenarnya aku kasihan
juga sama Ari, bayangkan hampir dua bulan terakhir sebelum aku
melahirkan, dia tidak pernah melakukannya, meskipun hanya sekedar
masturbasi. Belum lagi ditambah dua bulan setelah aku melahirkan aku
masih belum bisa melayaninya. Dan aku tidak menyalahkannya jika akhirnya
dia memintamu melakukannya. Dan jika akhirnya kamu terpaksa
melayaninya, kuucapkan terima kasih telah menggantikanku. Mungkin itu
saja deh Rat, yang perlu untuk kamu ketahui. Aku tidak tahu harus
bagaimana tapi sudah deh segalanya sudah terjadi, mohon jangan
mengulanginya lagi ya! Please! Aku sudah omong-omong tentang ini sama
Ari dan dia menangis habis-habisan menyesalinya. Oke, udahan dulu ya.
Bales ya secepatnya!" Iva.
"NB: sedikit nakal, kok sekarang Ari jadi
ganas gitu sih? Kalo ini karena kamu makasih ya! Terakhir, bagaimana dia
melakukannya? Hi.. hi.. hi Jangan khawatir aku tetap sahabatmu."
Berhari-hari
setelah itu aku kebingungan mempertimbangkan apa yang harus kulakukan
terhadap ini, sampai akhirnya aku harus menjawab juga.
"Iva
sayang, hanya maaf yang bisa aku mohonkan ke kamu. Aku tidak ingin
membela diri, aku salah dan aku janjikan itu tidak akan terulang lagi.
Jika ada yang bisa aku lakukan untuk menebusnya? Katakan saja kepadaku!
Aku tidak punya lagi kata-kata apapun, jadi sekali lagi maaf ya!" Ratih
"NB:
tentang yang ganas-ganas itu aku tidak tahu tanya aja sama dia, tapi
kalo tentang pertanyaan yang kedua, jawabannya secara jujur ya iya.
Mohon maaf sekali lagi!"
Email balasanku pagi itu terkirim,
sorenya langsung dibalas dan isinya, "Ratih, Oke deh. Meskipun agak
sakit, kita kubur jauh-jauh peristiwa itu. Kapan kamu menikah? Kabarin
lho! Aku punya ide (agak liar), supaya setimpal, gimana kalo nanti pas
kamu mengalami saat-saat yang sama kayak aku, boleh dong aku mbantuin
Andy? He.. He.. He.. (gambar tengkorak lagi tertawa!)" Iva
Nah loh! Akhirnya memang begitu yang terjadi setahun kemudian, jadi kedudukanku dengan Iva menjadi 1-1.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar